Rabu, 03 Februari 2021

Dipaksa Belajar untuk Mempertahankan Kondisi

Saat kita diajak untuk bersekolah di masa kecil, kita hanya manut. Kadang merasakan kenapa harus sekolah pagi padahal pagi-pagi kan masih mengantuk. 

Yang kurang suka, mempertanyakan kenapa harus belajar matematika, padahal menjadi koki tidak perlu mengetahui ilmu perpangkatan.

Lain lagi untuk yang suka matematik, tetapi emoh dengan seni lukis. Kenapa seni bisa dinilai mendapat 4, 7, 8, 9? Bukankah seni adalah sesuatu yang tidak pasti, unik? Itu yang muncul di pikiran sebagai alasan mendapat merah di laporan semester. (Mengapa pula warna merah diidentikan dengan jelek. Padahal warna itu merupakan salah satu dari lingkup seni.)

Tingkat SD memaksa murid untuk menghapalkan materi. SMP juga mirip, selain dipaksa mengerjakan dengan benar soal hitung-menghitung. SMA, dengan adanya jurusan, mulai dipaksa untuk tahu akan sesuatu yang sebagian besar tidak terpakai oleh sebagian murid yang sudah tamat SMA dan hidup 40 tahun kemudian atau lebih. Contohnya: Sinus, Cosinus, Tahun berapa Pithecanthropus Erectus muncul di bumi ini, dan mengapa pengertian afeksi dalam sosiologi perlu dihapalkan.

Mahasiswa juga dinilai kekuatan hapalannya agar bisa mendapatkan angka bagus di laporan indeks prestasi kumulatifnya seperti pada mata kuliah agama, pendidikan kewarganegaraan, dan sejenisnya.

Sebagian guru dan dosen tidak memiliki hasil karya untuk masyarakat yang otentik dan berfaedah. Mereka hadir sebagai tuntutan ekonomi, bukan mencerdaskan peserta didik. Mereka tidak menjadi teladan tetapi bersenang-senang dalam "mengajari" peserta didik, apa yang wajib ada dalam kurikulum yang sudah ditetapkan.

Dari dua ratus ribu lebih sekolah di Indonesia, berapa banyak guru yang memiliki RPP kreatif yang bisa dijadikan pedoman aplikatif bagi pendidik lain? Berapa banyak proyek yang dihasilkan peserta didik maupun guru itu sendiri dalam setahun?

Dari empat ratus ribu lebih universitas, berapa banyak dosen yang memiliki hasil proyek yang bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menjadi teladan bagi mahasiswanya? 

Kita dipaksa untuk belajar di sekolah dan perguruan tinggi, kebanyakan hanya untuk mempertahankan kondisi yang ada. Kebanyakan, tidak boleh ada yang berbeda dari ilmu yang sudah ada. Contoh, banyak anak terpaksa bangun pagi untuk pergi ke sekolah. Mengapa sekolah harus pagi jam tujuh atau tujuh lewat tiga puluh menit? Mengapa tidak jam 10 saja?

Alasan klise adalah agar anak diajarkan, dibiasakan untuk bangun pagi dalam memulai hari dan beraktivitas. Jika memang demikian, anak bangun pagi bisa berolah raga, beraktivitas dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga, sampai dia siap untuk berangkat ke sekolah. Tidak harus aktivitasnya adalah mulai duduk di ruang kelas. Bisa juga ke sekolah lalu beraktivitas (bukan duduk di ruang kelas) di sekolah sampai jam 10 barulah mulai duduk untuk belajar. 

Dari sudut pandang lain, alasannya adalah karena orangtua perlu kerja paling tidak jam 7, 8, atau jam 9. Jadi anak-anak bisa diantar dulu lalu orangtua bisa pergi bekerja. Sekalian.

Anak menjadi korban, mereka harus mengikuti. Karena anak-anak pemikirannya masih cetek, tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan baik dan kalah dalam adu kata-kata, maka anak terpaksa menerima kondisi tersebut. Bertahun-tahun.

Contoh lain adalah belajar di ruang kelas. Dari puluhan tahun lalu, belajar ya, di ruang kelas. Jika di luar kelas, maka guru susah memberikan materi karena tidak ada papan tulis, anak tidak fokus karena ada burung lewatlah, ada orang lewatlah, dan sejenisnya. 

Tetapi anak dibatasi ruang geraknya di dalam kelas. Dengar, tulis, jawab. Tujuannya agar tahu dan materi dihapal. Mengapa perlu dihapal, agar kondisi yang sudah ada, diingat. Selesai. Tidak ada tambahan lagi. Jarang setelah mengetahui materi, dilanjutkan dengan diskusi. 

Yang penting murid tahu bahwa Jepang mengizinkan pembentukan BPUPKI. Tetapi bagaimana menurut murid, seandainya Jepang tidak mengizinkan pembentukan BPUPKI, apa yang akan kamu lakukan sebagai rakyat?

Yang penting murid tahu bahwa penemu benua Amerika adalah Christopher Columbus. Tetapi bagaimana mungkin sebagai penemu, nama benuanya adalah Amerika bukan Christopher? Apakah Amerigo Vespuci yang merebut penamaan tersebut? Ataukah si pembuat peta yang menambahkan nama tersebut? Ataukah karena Christopher Columbus sangat rendah hati dan memberikan nama yang berbeda dari nama dia? 

Yang penting murid tahu bahwa dengan rumus parabola, maka soal nomor 3 dapat diselesaikan. Tetapi berapa banyak soal terapan di dunia nyata yang diberikan kepada murid untuk diselesaikan? Apakah lebih banyak soal teori saja?

Yang terpenting mahasiswa tahu bahwa skripsi itu perlu diselesaikan dan disidang. Berapa banyak hasil skripsi digunakan untuk masyarakat? Apakah itu urusan mahasiswa dan tidak ada sangkut pautnya dengan bimbingan dari dosen? 

Kondisi yang ada adalah mematuhi aturan standar, buat skripsi. "Perkara berapa besar efeknya bagi masyarakat, ya.. bukan urusan saya," mungkin seperti itu pikiran dosen yang profesinya berlandaskan kebutuhan ekonomi.

Buang sampah pada tempatnya. Slogan ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Apakah sampah plastik tempatnya sama dengan sampah organik? Bagaimana kita memperlakukan baterai remote AC, radio control, TV yang sudah habis dayanya? Bagaimana dengan cutter yang sudah berkarat? Apakah sama tempatnya dengan tempat sampah organik? 

Kondisi yang ada saat ini, ya, tempat sampahnya sama. Bahkan dinas lingkungan hidup pun entah sampai mana progresnya untuk lingkungan hidup yang benar-benar sesuai teori ideal. 

Kita semua dipaksa. Apakah mulai sekarang kita tidak bisa melawan? Melawan pemaksaan untuk mempertahankan kondisi yang ada. Inovasi adalah produk perlawanan. Tidak ada meja bulat jika orang tidak melawan meja persegi panjang. Tidak ada mobil matic jika orang tidak melawan gear manual. Tidak ada decacorn, jika Gojek tidak berinovasi dari ojek pangkalan menuju digital.

Banyak segi kehidupan perlu untuk melawan kondisi yang ada. Lihatlah kebutuhan yang berbeda dan penuhi. Bukan, "dari dulu memang begitu."

Berpikir kritis, inovatif, empati, dan belajar kolaborasi. Masyarakat akan lebih bermartabat. Seperti kata teman saya di Singapura, always not to be the best but better.

Sabtu, 11 Agustus 2018